Mantan Ketua Pansus DPRD Kota Bima Pertanyakan Keseriusan Kementerian ATR/BPN RI Soal “Mafia” Tanah”

“Kawasan Amahami Kota Bima=Sarang Kelompok Mafia?”

"Inilah Potret Terkini Kawasan Amahami-Kota Bima Yang Diduga Dikuasai Kelompok Tertentu"

Visioner Berita Kota Bima
-Sebelum berpindah tugas menjadi Menteri Koordinator (Menko) Insfrastktur RI, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pernah beberapa bulan menjabat sebagai Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI. Tercatat antara lain janji AHY saat menjabat sebagai Menteri ATR/BPN yakni pemberantasan kasus dugaan tindak pidana kejahatan “mafia tanah” di seluruh Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang ditengarai telah mengakar sejak lama dan bahkan ditengarai masih berlangsung sampai saat ini.  

Dalam kaitan itu, AHY dinilai mencatat sederetan sejarah sukses, tepatnya dimasa kepimpinan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi). Antara lain menyelesaikan sengketa-sengeka lahan di Pulau Sumatera, Rau, Kalimantan dan di sejumlah daerah lain di Indonesia termasuk di Pulau Jawa. Namun dibalik kesuksesnya tersebut, muncul pertanyaan serius terkait janji AHY tersebut soal dugaan sederetan masus dugaan tindak pidana kejahatan “mafia tanah” di NTB, antara lain di Kota Bima maupun di Kabupaten Bima.

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Media Online di Bima melaporkan sejumlah dugaan tindak pidana kejahatan “mafia tanah” di Kabupaten Bima. Salah satunya wilayah Desa Sampungu Kecamatan Donggo-Kabupaten Bima dengan luas lahan sekitar 200 hektar dan di wilayah Desa Kiwu Kecamatan Kilo-Kabupaten Dompu seluas sekitar 80 hektar, dugaan kawasan konservacy di Taman Nasional Taman Nasional Tambora-Kabupaten Bima seluas sekitar ratusan hektar yang disebut-sebut telah dijadikan sebagai milik perorangan.

Dugaan hal yang sama di Kabupaten Bima dalam kaitan itu di Kabupaten yakni di kawasan Kecamatan Parado-Kabupaten Bima dengan sinayelemen seluas ribuan hektar. Antara lain di atas lahan ratusan hektar Konsesi milik PT. Agro Wahana Bumi (AWB) di Tambora yang diduga dikuasai oleh sejumlah oknum dibawa kendali oknum Anggota DPRD setempat berinisial MH.

Sementara di Kota Bima, kasus dugaan tindak pidana kejahatan “mafia tanah” terjadi di Kawasan Amahami Kecamatan Rasanae Barat (Rasbar) dengan luasan ratusan hektar. Dugaan tindak pidana kejahatan dimaksud terjadi sejak lama dan bahkan ditengarai masih berlangsung sampai dengan saat ini. Dugaan kejahatan dalam kaitan itu, praktis disikapi secara tegas oleh Walikota Bima saat itu yakni H. Muhammad Lutfi, SE.

Catatan penting Media Online www.visionerbima.com melaporkan, saat itu Lutfi menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) dengan Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (Forkopimda) yang melibatkan Dandim 1608/Bima, Kapolres Bima Kota, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bima, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Raba-Bima dan Ketua DPRD Kota Bima. Menindak lanjuti Rakor yang tercatat lebih dari satu kali tersebut, Kajari Bima saat itu yakni Widagdo Mulyono Petrus, SH, MH (Almarhum). Dalam kaitan itu pula, Kajati NTB saat itu (Maret Tahun 20219) menunjuk Widagdo sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk wilayah Kota Bima dan Kabupaten Bima.

Kerja keras Widagdo saat itu tercatat membuahkan hasil yang dinilai sangat baik. Salah satunya berhasil menghentikan sederetan “nama besar” untuk menguasai kawasan Amahami Kota Bima yang ditengarai keras merubah puluhan hektar sejak lama. Dan atas kerja serius tim kerja bentukan Lutfi tersebut, Pemkot Bima pun mengambil langkah serius.

Yakni Lutfi mengeluarkan Surat Keputusan (SK) larangan resmi yakni melarang keras kepada siapapun melakukan kegiatan dalam bentuk apapun di kawasan Amahami. Dalam kaitan itu pula, Lutfi memasann papa larangan di semua titik di kawasan Amahami. Upaya Lutfi selaku Ketua Forkopimda saat itu pun ditegaskan masih berlangsung sampai detik ini hingga ditegaskan bahwa kawasan itu dikabarkan tercatat secara resmi sebagai Kawasan Strategis Nasional Nawacita (KSNN) dari Badan Pembangunan Nasional (Bapenas) RI. Dan status kawasan Amahami sebagai KSNN ditegaskan masih belaku sampai dengan hari ini.

Masih soal kasus dugaan tindak pidana kejahatan “mafia tanah” di kawasan Amahami, mantan Ketua Pansus DPRD Kota Bima yakni H. Armansyah, SH kini kembali bersuara keras. Politisi Partai PKS yang telah memutuskan berhijrah ke Partai Hanura tersebut kini memberkan hasil kerja Pansus dalam kasus yang sempat heboh, namun kini dinilai sepi dari pembicaraan berbagai pihak dimaksud.

“Hasil kerja Pansus Dewan Kota Bima terkait kasus dugaan mafia tanah di kawasan Amahami dengan luasan puluhan hektar yang dikuasa sejak lama oleh sederetan oknum tertentu tersebut sudah final. Sejumlah oknum yang diduga kuat menjadi Amahami sebagai milik pribadi tersebut, antara lain berinisial HZ telah dimintai keterangansecara resmi oleh Pansus. Di hadapan Pansus Dewan saat itu, antara lain HZ mengaku memiliki landasan hukum menjadikan Amahami sebagai lahan pribadi. Namun ketika diminta oleh Pansus soal dasar hukum bagi HZ menjadikan Amahami sebagai lahan pribadi tersebut justeru tidak mampu dibuktikanya. Padahal kami di Pansus DPRD Kota menunggunya dalam waktu lumayan lama agar HZ menyerahkan landasan hukum yang dimaksudkanya itu, namun tak kunjung diwujudkanya,” beber Armansyah, Rabu (11/12/2024).

Dugaan penguasan lahan di kawasan Amahami tersebut, disinyalir keras menggunakan “kemasan Konsorsium” yang ditengarai dikendalikan oleh oknum tertentu. Diduganya bahwa HZ memiliki potensi besar mengendalikan “konsorsium” yang ditengarainya melibatkan sejumlah oknum Pengusaha lokal di Kota Bima.

“Sejumlah oknum Pengusaha lokal dan beberapa nama besar lainya telah kami panggil guna memintai keteranganya untuk menjelaskan secara rinci tentang penguasan lahan di kawasan Amahami. Namun mereka tak mampu menjelaskan secara rinci tentang rangkaian proseduralnya sebagai dasar menjadikan kawasan Negara tersebut menjadi milik pribadi. Tetapi diduga keras bahwa dugaan praktek ilegal itu dominan menggunakan SPPT yang ditengarai diproduksi oleh oknum aparat Kelurahan setempat,” beber Armansyah.

Selama kurang lebih dua bulan di tahun 2019 itu, pihaknya juga mendengar informasi bahwa sejumlah oknum yang diduga kuat terlibat dalam penguasaan kawasan Amahami telah memiliki sertifikat atas nama pribadi. Menindaklanjuti informasi tersebut, pihaknya mendatangi pihak Badan Pernahan Nasional (BPN) Kota Bima.

“Namun sejumlah data termasuk soal rangkaian legal proses menjadikan dugaan penguasan kawasan Amahami menjadi milik perorangan oleh sederetan oknum itu yang antara lain sial Warkahnya, sama sekali tidak diberikan oleh pihak BPN Kota Bima. Karena Pansus bukanlah Aparat Penegak Hukum (APH) alias Lembaga Politik kendati tercatat sebagai Lembaga Negara, maka kami tidak bisa memaksa pihak BPN Kota Bima untuk menyerahkan hal itu. Tetapi patut dipertanyakan alasan soal engganya pihak BPN Kota Bima untuk menyerahkan hal itu kepada Pansus saat itu,” ungkap Armansyah.

Kerja Pansus Dewan saat itu juag diakuinya mendapat tantangan di dalam kubu Legislatif itu sendiri, sebut saja salah seorang Pimpinan Dewan berinisial SM dari dari salah satu Parpol di Kota Bima. Tantangan itu yakni semula SM enggan mengeluarkan surat resmi sebagai landasan kerja serius Pansus. Namun ungkap Armansyah, surat resmi tersebut akhirnya dikeluarkan oleh SM dan selanjutnya Pansus menindak lanjutinya.  

“Sebagai Ketua Pansus soal kawasan Amahami itu, saya tegaskan agar SM tidak main-main soal penuntasan  soal dugaan pengusaan kawasan Amahami oleh sejumlah oknum tersebut. Namun Alhamdulillah SM menerbitkan surat resmi dimaksud. Upaya selanjutnya, Pansus mendatangi Dinas Kelautan dan Perikanan (Diskanlut) dan BPN Provinsi NTB di Mataram yang antara lain meminta soal Warkah tanah di Kawasan Amahami. Namun sayangnya, pemintaan Pansus justeru tidak diberikan oleh dua Lembaga Pemerintahan itu. Hal itu pun sangat layak untuk kita pertanyakan secara serius,” tanya Armansyah dengan nada serius.

Kerja keras pihak Pansus dalam kaitan itu, ditegaskanya berlandaskan niai suci karena Allah SWT dan Rasulullah. Sebab, kasus dugaan penguasan kawasan Amahami oleh sejumlah oknum tersebut dilakukan secara ilegal. Sebab sampai saat ini kawasan Amahami berstatus resmi sebagai lahan Negara yang tidak diperbolehkan untuk dikuasai oleh siapapun.

“Ketegasan tersebut dituangkan secara resmi oleh Diskanlut Provinsi NTB melalui surat Nomor: 523/49.1/05/Diskanlut/2019, Perihal: Konsultasi Permasalahan Penimbunan Kawasan Laut Amahami. Dalam surat tersebut berisikan 11 pointer tentang ketegasan secara resemi pula. Antara lain pada point nomor 10 menegaskan bahwa kegiatan rekalamsi di sepanjang pesisir Pantai Amahami teluk Bima, selain Masjid terapung dan pembangunan jalan sebagai yang dimaksud angka 9 tersebut di atas adalah ilegal dan harus ditertibkan sesuai mekanisme dan peraturan yang berlaku. Point 11 dalam surat resmi tersebut menegaskan bahwa memperhatikan peta dari google earth tahun 2023 sampai dengan tahun 2017 bahwa lokasi tersebut pada angka 10 masih merupakan wilayah laut. Dan surat tersebut ditandatangani secara resmi oleh Kadis Kanlut Provinsi NTB, Ir. Lalu Hami, M.Si, tertangga 8 Maret 2019,” bongkar Armansyah.

Hasil kerja Pansus DPRD Kota Bima tersebut, diakuinya juga menguak dugaan tindak pidana kejahatan reklamasi pantai di kawasan Bonto Kelurahan Kolo Kecamatan Asakota-Kota Bima oleh oknum Pengusaha lokal berinsial BK dengan luas sekitar puluhan meter dari bibir pantai setempat. Dalam kaitan itu, diakuinya BK pernahy dipanggil secara resmi oleh Pansus DPRD Kota Bima untuk dimintai keteranganya. Namun saat itu, yang diduga dihadirkanya di hadapan Pansus adalah seorang delegasinya.   

“Ya, panggilan resmi Pansus tersebut diabaikan oleh BK. Tetapi delegasi yang dihadirkanya di hadapan Pansus Dewan Kota Bima saat itu tidak bisa memberikan keterangan terkait reklamasi pantai oleh BK itu. Sekali lagi, dugaan praktek reklamasi pantai tersebut dilakukan secara ilegal oleh BK. Dan ketegasan itu pun tertuang di dalam surat resmi dari pihak Diskanlut Provinsi NTB itu pula,” papar Armansyah.

Kerja serius Pansus DPRD Kota Bima terkait dugaan penguasaan kawasan Amahami oleh oknum tertentu dan dugaan rekalamasi pantai oleh BK juga membogkar pembangunan Pasar Amahami itu. Dalam kaitan itu ungkap Armansyah, semula lahan tersebut adalah milik salah seorang oknum Pengusaha yang ditengarai dibeli oleh pihak Pemkot Bima menggunakan APBD 2 setempat. Dan diduga sejatinya di atas lahan pasar tersebut direncanakan untuk pembangunan terminal AKAP, tepatnya dimasa kepemimpinan Walikota Bima, H. Muhammad Nurlatif (Almarhum).

“Namun setelah Nurlatif meninggal dunia, Pasar tersebut dibangun di atas lahan yang semula direncanakan sebagai pembangunan terminal AKAP oleh pihak Pemkot Bima. Ironisnya, dalam kaitan itu Pemkot Bima membayar lahan menggunakan APBD 2 Kota Bima di atas kawasan Amahami yang berstatus secara resmi sebagai milik Negara. Dan berdasarkan informasi penting yang kami terima, diduga lokasi pembangunan Pasar itu berada di bagian utara pasar itu pula yang kini telah dimanfaatkan untuk pembangunan Rumah dan Toko (Ruko) oleh terduga mafia,” duga Armansyah.

Sinkatnya, hasil kerja Pansus dalam kaitan itu melahirkan beberapa sejumlah pointer resmi. Dan dalam kaitan itu pula, pihaknya telah menyerahkan kepada Pemkot Bima dibawah kendali Walikota setempat yakni Lutfi. Dan soal tindak lanjut dari rekomendasi tersebut oleh Pemkot Bima, ditegaskankan bahwa pihaknya tidak mengetahuinya, kecuali soal papan larangan melakukan kegiatan di atas kawasan Amahami yang sampai sekarang masih berdiri tegak oleh Lutfi pula. Dan inilah rekomendasi dari hasil kerja serius Pansus DPRD Kota Bima yang diterbitkan secara resmi tertanggal 19 September tahun 2019 yang ditandatangani secara legal itu.

APH untuk menyelidiki lebih jauh terkait dengan aktivitas penimbunan (reklamasi), penguasaan dan kepemilikan lahan di wilayah pesisir Amahami oleh orang pribadi dan kelompok masyarakat. Kedua, terhadap bangunan oleh orang pribadi atau kelompok masyarakat yang berada di atas lahan pesisi Amahami yang dipermasalahkan tersebut untuk dilakukan pembongkaran. Ketiga, terhadap penguasaan laut/pesisir yang ditimbun atau reklamasi oleh BK di kawasan Bonto kelurahan Kolo yang dijadikan dermaga secara pribadi adalah tindakan ilegal. Untuk itu diminta kepada APH untuk melakukan proses hukum atas penguasaan laut tersebut.

Keempat, terhadap penimbunan atau rekalamasi laut atau pesisir di kawasan Wadumbolo yang dilakukan oleh oknum berinisial AB itu adalah ilegal dan dapat mengganggu aktivitas demargta Pertamina. Untuk itu diminta kepada Pemerintah Daerah untuk dapat menghentikan aktivitas tersebut dan area yang sudah direklamasi atau ditimbun harus ditertibkan dan diambil alih penguasanya oleh Pemerintah Daerah.

Kelima, diminta kepada Pemerintah daerah untuk dapat menindak tegas dan mengendalikan aktivitas penimbunan atau reklamasi wilayah laut atau pesisir di Kota Bima oleh orang pribadi maupun kelompok masyarakat, sehingga kawasan laut dan pessir yang ada dapat dimanfatkan oleh Pemerintah Daerah sesuai ketentuan Perundangan-Undangan yang berlaku.

Berkaitan dengan rekomendasi Pansus Dewan Kota Bima tersebut melahirkan 5 ;pointer dari hasil analisis serius, profesional, terukur dan bertanggungjawab. Berdasarkan hasil pembahasan dana analisis informasi dan data berbagai sumber yang berkaitan dengan aktivitas penimbunan/reklamasi penimbunan di Amahami maka Pansus DPRD Kota Bima menyampaikan beberapa kesimpulan.

Antara lain kawasan yang menjadi proyek permasalahan yaitu wilayah pesisir Amahami dan teluk Bima adalah kawasan laut yang ditimbun atau rekalamasi oleh individu, kelompok masyarakat atau Pemerintah Daerah secara ilegal. Dan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan khususnya Perda Nomor 3 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provonsi NTB tahun 2009-2029, Perda Nomor 12 tahun 2017 tentang donasi rencana wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi NTB tahun 2017-2037 serta Perda Kota Bimka nomor 4 tahun 2012 tentang RTRW Kota Bima tahun 2011-2031.

“Itu antara lain kesimpulan dari hasil analisis kami di Pansus DPRD Kota Bima. Dan dari hasil kerja serius Pansus DPRD Kota Bima terkait kasus di Kawasan Amahami dan di teluk Bima tersebut, maka sekarang saya pertanyakan keseriusan Pemerintah RI melalui Kementerian terkait untuk segera menindaklanjutinya secara serius pula. Pertanyaan serius ini, antara lain disampaikan secara khusus kepada pihak Kementerian ATR/BPN RI serta Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dan Kementerian Pariwisata RI. Dan dalam kaitan itu pula, kita semua membutuhkan tindaklanjut secara serius oleh Kapolri, Panglima TNI, Kajagung RI dan Lembaga resmi Negara lainya di NTB ini pula. Saat menjadi Menteri ATR/BPN RI, AHY pernah berjanji untuk memberantas mafia tanah di Indonesia. Sementara soal yang terjadi di NTB dalam kaitan itu, janji AHY tersebut terkesan sepi di wilayah NTB, termasuk di Kota Bima,” tanya Armansyah.

Oleh sebab itu, Armansyah mendesak Menteri ATR/BPN yang baru dilantiik oleh Presiden RI, Jenderal (Purn) H. Prabowo Subianto yakni Nusron Wahid agar menjadi Kota Bima sebagai salah satu wilayah kerja perioritasnya terkait dugaan tindak pidana kejahatan “mafia tanah”, salah satunya di kawasan Amahami.

“Kita juga berharap agar Pak Prabowo segera melirik dan memprioritaskan penanganan masalah-masalah dimaksud. Sebab, di kawasan Amahami tersebut bukan saja soal dugaan tindak pidana kejahatan “mafia tanah”. Tetapi juga ditengarai keras adanya dugaan kerja Pemerintah yang diduga merugikan uang Negara. Melalui kesempatan ini pula, saya ingin sampaikan bahwa saat menjabat sebagai Ketua Pansus DPRD Kota Bima ada sejumlah oknum yang diduga menawarkan sesuatu kepada saya. Tetapi demi Allah SWT dan demi Rasulullah saya menolak kerasnya. Sebab, tugas dan tannggungjawab kita semua adalah menyelamatkan daerah dan masyarakat serta Negara dari “kelompok mafia”. Semoga harapan pemberantasan dalam kaitan itu segera ditindaklanjuti oleh Presiden RI,” harap Armansyah. (JOEL/RUDY/AL/DK/RIS)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.