Stigma Dinasty Yang Diarahkan Kepada Dinda dan Yandi Adalah Pembodohan di Alam Demokrasi
Politisi Nasdem dan Juga Mantan Aktivis Jalanan, Edy Muchlis, S.Sos |
Visioner Berita Kabupaten Bima-Dalam beberapa bulan terakhir di musim Politik jelang Pilkada serentak periode 2024-2029, berbagai serangan dan bahwa pernyataan yang dinilai dari adab serta etika terus diarahkan oleh kelompok tertentu. Serangan yang dinilai identik dengan merusak tatanan demokrasi di Indonesia itu, diakui datang dari "sekelompok kecil orang" disaat Bupati Bima, Hj. Indah Dhamayanti Putri, SE, M.IP (Dinda)maju sebagai Calon Wakil Gubernur NTB periode 2024-2029 dan anak kandungnya yakni Muhammad Putera Feriyando, S.IP, M.IP (Yandi) maju sebagai Calon Bupati Bima periode 2024-2029 berpasangan dengan Hj. Rostiati H. Dachlan.
Serangan yang dinilai berangkat dari konstruksi berfikir non intelektual serta kontradiktif dengan nilai demokratisasi yang telah berlakukan sejak lama di Indonesia tersebut, adalah sama halnya dengan membodohi publik. Sebab, Dinasty itu hanya berlaku pada Negara yang menggunakan sistim Kerajaan. Sementara pasca itu, Indonesia memberlakukan sistim Demokrasi secara utuh mulai dari Pemilihan Presiden (Pilpres) RI, pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati di seluruh Indonesia.
Pernyataan keras tersebut disampaikan secara langsung oleh Anggota DPRD Kabupaten Bima, Edy Muchlis, S. Sos kepada Media Online www.visionerbima.com, Sabtu (21/9/2024). Serangan yang diarahkan kepada Dinda dan Yandi tersebut, ditegaskanya adalah sama halnya dengan mengganggu pikiran positif publik yang sudah sekian lama menikmati alam demokrasi dan masih berlangsung sampai dengan saat ini.
"Saya bingung dan bahkan merasa geli dengan kelompok kecil yang masih saja membangun stigma soal Dinasty disaat kita semua menikmati alam demokrasi ini. Mantan Bupati Bima, H. Feri Zulkarnaen, ST dipilih secara demokratis oleh rakyat di Kabupaten Bima. Demikian halnya dengan Dinda memenangkan Pilkada Kabupaten. Ima dua periode. Oun dua kali Yandi memenangkan kursi Legislatif, itu tak pernah lepas dari pilihan demokratis masyarakat pada Daerah Pemilihanya (Dapil). Semua syarat dan Pra syarat sesuai alur demokrasi telah dipenuhi oleh ketiganya. Dan tak sedikit dari keluarga "Anda-Anda" yang memenangkan ketiganya," tegas mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bima ini.
Ketiganya maju di pentas Politik, ditegaskanya tidak dilakukan secara serta-merta. Tetapi semua syarat dan orang syarat telah dipenuhi oleh ketiganya pula. Antara lain soal Ijazah, umur, pendaftaran di sejumlah Partai Politik, pendaftaran di KPU setempat hingga mereka dipilih secara demokratis oleh rakyat di Kabupaten Bima dan menjabat sebagai Bupati Bima dan Ketua DPRD setempat.
"Sebelum maju ke pentas politik tersebut, semua syarat sesuai ketentuan Undang-yagg berlaku di NKRI telah dipenuhi oleh ketiganya. Ngera mengakui hal itu, pun demikian halnya dengan seluruh rakyat di Kabupaten Bima. "Anda-Anda" teramat lucubangun stigma Dinasty disaat NKRI ini sudahberlakukan sistim demokrasi secara utuh pada pentas politik. Oleh sebab itu, sebaiknya "Anda-Anda" harus lebih sadar dan pintar dari masyarakat awam. Saya malah bertanya-tanya, "kelompok kecil itu" sedang berada di mana dan melakukan hal itu atas perintah siapa?," tanyanya dengan nada tegas pula.
Mantan Aktivis jalanan yang tercatat berkali-kali jadi "target" ini kembali bertanya soal maksud dan keinginan "kelompok kecil" tersebut hinggabanguk Stigma Dinasty kepada Dinda dan Yandi. Sementara sederetan teah-trah lain yang memimpin Negeri ini justeru terkesan disamoingkan.
"Mantan Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah juga punya adik kandung yang menjabat sebagai Wakil Bupati di Sumbawa. Mantan Walikota Bima, H. Muhammad Qurais H. Abidin (HMQ) juga punya adik kandung yang saat itu menjabat sebagai Wakil Walikota Bima. Dan HMQ juga punya dua orang anak yang terpilih sebagai Anggota DPRD Kota Bima. Tuan Guru Bajang (TGB) selami mantan Gubernur NTB juga punya adik kandung yang menjabat sebagai mantan Wakil Gubernur NTB dan ada anak kandungnya yang lolos menjadi Anggota DPD RI. H. Mantan Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yakni H. Musyafirin juga memiliki istri yang kini dijelaskan maju sebagai Calon Bupati KSB dan masih banyak lagi yang lainya. Apakah itu bukan Dinasty. Menurut saya, itu Dinasty. Lantas kenapa hanya Dinda dan Yandi yang "Anda-Anda" serang. Dan serangan itu mencerminkan "kualitas mereka"," timpal sosok tegas yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Bima ini.
Sikap dan tindakan yang dttinjolkan oleh "mereka" dalam kaitan itu, diduganya berangkat dari skenario yang sengaja dimainkan oleh oknum tertentu. Dugaan skenario tersebut, ditengarai ya lebih mengarah ditugas khususkan untuk menyerang rival politiknya. Celakanya, dugaan peran tak lazim menurut Marwah demokrasi di Indonesia tersebut justeru memberikan keuntungan besar bagi pihak yang diserangnya.
"Jujur, kita juga pernah mengalaminya. Dari sederetan pengalaman dalam dunia politik termasuk di Bima, itu justru memenangkan pihak yang dizholimi. Ini adalah fakta yang tak bisa dibantah oleh siapapun. Kini hal yang sama muncul di tengah berlangsungnya proses Pilkada NTB dan di Kabupaten Bima pula. Saya tidak tahu siapa aktor di belakang mereka. Tetapi pola yang dimainkan oleh mereka dalam kaitan itu justeru terkesan sangat mudah untuk ditebak. Oleh sebab itu, sadarlah. Sebab, rakyat yang sudahama menikmati nilai demokratisasi itu tidak mudah terjebak oleh stigma-stigma tak logis dari "sekelompok kecil orang" dimaksud," tandas soso Politis yang dikenal sangat dekat dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk Awak Media ini.
Dengan diberlakukannya sistim demokrasi pada pentas Politik di Indonesia, ditegaskanya bahwa siapapun berhak untuk mengisi ruang tersebut secara demokratis pula. Dalam kaitan itu, ada istilah trah atau Istana dan lainya. Tetapi diakuinya, semua memiliki gak yang sama sebagai warga NKRI pula.
"Dinda dan Yandi adalah warga NKRI pula. Keduanya mengisi formulir untuk maju di pentas Politik bukan sebagai Calon Bupati Istana Bima. Oun demikian halnya dengan Yandi. Disaat memenangkan pertarungan politik, keduanya mutlak menjabat sebagai Bupati Bima (Bupatinya seluruh rakyat di Kabupaten Bima), bukan Bupatinya Istana Bima. Soal stigma yang diduga sengaja dibangun oleh "kelompok kecil" tersebut, melalui kesempatan ini sayaingin tegaskan bahwa sesungguhnya "Anda-Anda" tak akan mampu menghempaskan. Ilai-nilai demokrasi yang telah diberlakukan sepenuhnya oleh Negara," ujar Edy Muchlis
Sosok Politisi yang diakui telah teruji keberanian dan ketegasan ya di jalanan disaat menjadi Aktivis ini memaparkan, memunculkan stigma Dinasty di alam demokrasi yang telah diberlakukan secara legal dan utuh di Indonesia ini adalah sama halnya dengan "pembangkangan". Dan dugaan tersebut, direngarainya sengaja dibangun atas dasar niat tertentu oleh kelompok tertentu pula.
"Sebagai Mantan Ketua HMI Cabang Bima, saya himbau kepada seluruh Kader untuk tetap mengedepankan etika, moral, sosial, budaya dan patologi Agama dalam setiap melakukan sesuatu, termasuk soal komunikasi. Jaga kualitas sebagaimana Marwah Ideologi, tetap menjadikan diri sebagai cerminan publik dan menempatkan Kitab Suci sebagai tuntunan pada setiap aktivitas baik secara akademik maupun non akademik. Khusus kepada adik-adik KOHATI, tetaplah menjaga kualitas sebagai kaum wanita sesungguhnya, senantiasa berperforma tertutup dan yakinkan diri sebagai cerminan bagi wanita-wanita muslim, khususnya di Indonesia. Paparan ini, sungguh sebagai wujud nyata dari kentalnya rasa cinta saya terhadap seluruh Kader HMI di manapun berada. Singkatnya, jadilah sebagai diri yang lazim bagi publik," imbuhnya.
Singkatnya, Edy Muchlis menghimbau agar praktik-praktik yang melabrak nilai-nilai demokrasi harus dihindari oleh seluruh rakyat di NTB. Dan hal itu tidak boleh ditiru oleh siapapun. Sebaliknya, itu akan menjadi ancaman serius bagi alam demokrasi yang telah diberlakukan secara legal dan seutuhnya di Indonesia.
"Antara lain kualitas dan kemampuan intelektual kita semua harus ditujukan melalui edukasi-edukasi secara akademik agar seluruh rakyat Indonesia ini bisa menikmati manisnya peradaban. Sebab, itu adalah mimpi sekaligus cita-cita besar kita semua. Jika stigma Dinasty itu masih dibangun di alam demokrasi ini, itu sama halnya dengan menghentikan cita-cita sekaligus mimpi rakyat untuk maju dan berkembang," pungkas yang diakui telah merasakan pahit-getienya perjuangan disaat menjadi Aktivis jalanan ini. (RIZAL/JOEL/RUDY/AL)
Tulis Komentar Anda