Critical Point 5 Tahun Perayaan Tambora Menyapa Dunia
(Akademisi
Universitas Mercu Buana Jakarta & Pemerhati Pulau Sumbawa)
Letusan
Gunung Tambora di Pulau Sumbawa tahun 1815, membawa dampak yang sangat besar
dalam sejarah umat manusia; penderitaan tidak saja oleh penduduk pulau itu
sendiri dan pulau-pulau sekitarnya, tetapi juga menjadi penderitaan di belahan
bumi utara, hingga dari Benua Amerika, Eropa, Afrika, dan juga Asia pada
tahun-tahun sesudahnya.
Para
sarjana sesuai dengan bidangnya masing-masing sampai pada abad ke-21 ini masih
terus melakukan penelitian-penelitian, melakukan ekspedisi-ekspedisi bahkan
penggalian-penggalian di daerah sekitar Gunung Tambora.
Dampak
letusan Gunung Tambora seolah menjadi konsumsi eksotik yang memberikan
inspirasi juga dalam sastra dunia dan folklore. Letusan Tambora menjadi
caesuroc historis; menjadi semacam tiang pemisah antara masa sebelum dan
sesudah-nya: terjadi perubahan wilayah dan lingkungan, baik politis, ekonomi,
social, dan budaya. Ini faktanya walau pemahaman kita masih abstrak.
Kenyataan
ini sudah barang tentu menjadi bagian penting untuk direfleksikan kembali bahwa
sesungguhnya Tambora pernah menggemparkan jagat raya ini. Disana ada
rengkarnase kehidupan sehingga mengharuskan semua pihak untuk terlibat
didalamnya guna menjadikan masa tragisme itu sebagai magnet besar yang dapat
mengundang selera perhatian dunia.
Jika
dilihat dari aspek geografis dan panorama keindahannya, gunung tambora bisa
saja orang menilainya biasa saja, bahkan
dibawah rangking cagar alam lainya. Boleh saja dari aspek itu tidak menarik
bahkan sukar diterima sebagai tempat wisata yang amat cantik, tetapi bila kita
sedikit melihat disisi yang tersembunyi maka akan lebih bernilai dan fantastis.
Sesungguhnya
disana bumi pernah mengamuk dengan segala kekuatan maha dahsyatnya yang membuat
bumi ini pernah gelap gulita, yang menyisakan kehangusan manusia dan seluruh
makhluk hidup lainya menjadi abu. Maka sepatutnya kejadian ini perlu refleksi
agar tidak menjadi kenangan tetapi lebih berhistoris dan menjangkau peradaban
dunia sampai kapanpun.
Semua Bisa Terwujud. Lalu Caranya?
Setidaknya
ada hal yang mesti kita harus kerjakan bersama yaitu membedahnya secara
mendalam. Kita harus memulainya dari susunan pertanyaan. Adakah penyebab khusus sehingga kejadian masa
itu bisa terjadi? Ataukah saat tuhan menciptakannya masih belum cukup
unsur-unsur kesempurnaanya? Juga mungkinkah daerah dserah itu harus dihadiahkan
dengan Laknat Allah yang amat mengerikan lantaran tidak taat kepadanya? Bisakah
gunung memberontak atas kehendaknya sendiri tanpa yang mengendalikanya, jika
dianggap itu bisa maka sebenarnya dia marah kepada siapa? Lalu bagaimana
kenyataanya hari ini? Adakah yang berbeda atau masih tetap sama? Atau cukup
kita akhiri dialog dengan anggapan bahwa itu peristiwa alam biasa?
Seharusnya
pertanyaan ini sudah diungkap oleh pegiat literasi yang mengagumi pengetahuan.
Disadari betul tulisan pertama oleh Bernice de Jong Boers & Helius
Sjamsuddin “Letusan Gunung Tambora 1815”. Sedikit banyak jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan diatas sudah sempat diungkap, tetapi rasanya tak cukup
bila animo kita untuk terus menggali tidak ada apalagi hasrat membaca saja kita
tak miliki.
Pemerintah
Daerah sudah cukup hebat telah ikut andil dalam membumikan peristiwa bersejarah
ini, walaupun masih banyak pekerjaan rumah yang perlu kita benahi lagi. Lima
tahun berturut-turut perayaan “Festival Tambora Menyapa Dunia” sudah kita
laksanakan, itu sangat baik dan luar biasa, kita perlu memberikan apresiasi
yang setinggi-tingginya.
Namun,
perlu ada penjelasan yang lebih detail dan holistik agar tidak sekedar menjadi
ceremonial yang disorientatif, tetapi lebih pada rumusan nilai-nilai konkrit
pada target maksimal, sehingga peristiwa besar ini benar-benar membangkitkan
atmosfir masyarakat dunia untuk mengetahuinya.
Perayaan
kilas balik peristiwa maha dahsyat ini tentu memiliki prospek yang terukur,
tidak hanya ingin sekedar dikenang saja. Ada semacam hal unik yang ingin kita
kenalkan, bukan soal keberadaan apalagi keindahan alamnya, karena masih banyak
tempat persejarah lain yang lebih menawan dari Gunung Tambora.
Lalu
apa sebenarnya yang ingin kita capai, hal apa yang berbeda disana sehingga kita
harus menguras energi untuk memperingatinya? Pertanyaan ini perlu saya
Lemparkan kepada pemerintah dan segenap pihak yang ikut terlibat didalamnya.
Kiranya sudah memiliki jawaban, bukankah hal ini terkesan rahasia dan
terselubung, karena sifatnya berisi pidato dan ungkapan bela sungkawa saja.
Seyogyanya perayaan peristiwa ini harus lebih mengena agar pengetahuan kita
semakin kaya.
Baiknya
peringatan peristiwa letusan Gunung Tambora ini tidak sekedar dianggap sebagai
tempat untuk merenung saja tetapi harus diubah wajahnya menjadi panggung
ilmiah. Disitu perlu ada pertengkaran pikiran sehingga mengkonstruksi
bangunanan dialogik dan dielitika diantara kita. Kita perlu mengkaji secara
tuntas dan komprehensif karena didalamnya ada percakapan soal sejarah, politik,
sosial, budaya, ekonomi hingga hal-hal kemanusian dan nilai-nilai spiritual.
Harapan
kedepanya, agar cara penyajian kita selama ini perlu diubah sehingga lebih
bermakna. Diakui atau tidak, kenyataan kita hari ini bahwa kita hanya
mengetahui Gunung Tambora pernah meletus dan nyaris kita tidak mengetahui
asal-muasal terjadinya peristiwa itu. Beberapa mungkin tahu tetapi itu minoritas.
Sebagai
contoh kecil, peristiwa saat itu telah mengakibat satu kerajaan besar tenggelam
tertimbun tanah, tahukah kita nama asli dari kerajaan itu, atau kita hanya
mengetahu bahwa itu adalah Kerajaan Tambora? Padahal nama asli kerajaan itu
adalah “Kerajaan Ken Kelu”. Pasti sangat disayangkan bila hal-hal kecil seperti
ini tidak diketahui dan tidak dikisahkan. Maka forum dialog sebagai syarat
satu-satunya agar masalah ini bisa terang-benderang.
Harapan
kita sudah final bahwa kita sangat ingin dunia internasional bisa menyapa
Tambora. Mimpi dan cita-cita kita boleh tinggi, niat kita boleh saja mewah,
Tetapi semua itu tidak cukup bilamana hal-hal yang spesial didalamnya kita
tidak bisa pertajam.
Hemat
saya tidak akan cukup laku bila jualan kita soal panorama alamnya saja, tetapi
bila jualan kita pada konteks wisata yang lain, misalnya diberi nama “Wisata
Spiritual” maka Gunung Tambora akan menjadi wisata spesial yang tentu terkesan
unik dari yang lainnya.
Kenapa
harus Wisata Spiritual?
Letusan
Tambora harus dipahami bukan semata-mata murni sebagai bencana alam. Karena, peristiwa letusan gunung bisa sering
terjadi pada gunung berapi lain. Sesungguhnya kita harus melihat sebagai
teguran yang mahakuasa atas kelalaian umat manusia.
Ada
semacam renungan bersama, kekuasanNya lah yang menghendaki semua bisa terjadi.
Barangkali kita tidak bisa menafikkan peristiwa maha dahsyat
didaerah “Serambi Kiri Makkah” ini menjadi daya tarik tersendiri yang akan
kemudian menjadi dalil legitimasi, hingga dunia harus mencatatnya sebagai
peristiwa sejarah terbesar umat manusia dijagat raya ini.
Pekerjaan
rumah kita bukan itu, karena semua itu tanpa ditulispun kenyataanya telah benar
terjadi. Tugas kita adalah momolesnya agar terlihat “Seksi serta Eksotis” yang
dapat melipatgandakan “hasrat libido” masyarakat dunia dalam menikmatinya.
Kembali
ketopik, tidak salah bila ingin tetap menjual panorama alamnya asal selera kita
harus tinggi. Maksudnya, kita harus serius menyulapnya menjadi tempat indah
sehingga tak kalah dari Geopark atau cagar alam yang lain. Disamping itu,
Masalah yang tidak boleh terlupakan adalah bahwa disitu ada ribuan mayat
manusia yang gosong menjadi abu,
tertimbun tanah tanpa jejak, juga
sebuah istana kerajaan besar yang tenggelam menghilang tanpa menyisakan bekas.
Patutlah
kita menyadari sepenuhnya bahwa itu adalah benar- benar laknat yang sungguh
sadis yang dialamatkan kepada masyarakat kita pada saat itu. Kebenaran Firman
Allah tak pernah salah “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan
tangan manusia”. Maka tak patut kita harus tetap angkuh dan sombong untuk tidak
mengakui kebesaran Sang Illahi Rabbi.
Melihat
kehendakNya yang tanpa batas itu maka tidak keliru juga bila kita mengasumsikan
sebagai teguran atau peringatan yang Maha Kuasa walaupun berdasarkan data
ilmiah itu murni gejala alam, tetapi harus diingat bahwa seluruh isi alam
semesta ini dikendalikan oleh yang maha mengatur.
Kita
semua pasti berharap bahwa wisata yang
kita impikan ditambora ini mengandung kebaikan dan keberkahan, kita pasti tidak
ingin kemudaratanya tetap subur. Maka hemat penulis, kita perlu ada semacam
ucapan pengakuan secara tulus bahwa apapun namanya wisata itu paling tidak kita
bisa jadikan sebagai wadah atau media untuk mengungkapkan rasa syukur kita
kepada Sang Khalik.
Kemudian
daripada itu, kalau disadari betul gunung tambora itu sebenarnya adalah kuburan
massal. Kenapa tidak, karena disitu adalah tempat tertimbunnya ribuan mayat
manusia pada saat itu. Maka hal-hal seperti ini harus menjadi rujukan atau
dasar kita untuk memastikan nama wisatanya apa. Jika saya bisa memberikan
usulan maka saya ingin merekomendasikan nama wisatanya adalah “Wisata
Spiritual”
Usulan
ini bukan tanpa dasar, tetapi berdasar pada runutan kejadian dari peristiwa
besar ini. Istilah Wisata Spritual tidak semata-mata mengandung arti atau
nilai-nilai keagamaan saja tetapi Spritual maksudnya disini sebagai simbolik
atau payung besarnya, sehingga unsur-unsur sejarah, sosial, budaya, politis dan
ekonomi ter-include didalamnya.
Pada
akhirnya Wisata Spiritual ini memiliki kesan unik dan spesial dibandingkan
dengan tempat wisata pada umumnya. Lalu apa muatan didalamnya? Nah justru
itulah yang harus dialogkan kira-kira kegiatan apa saja yang bisa dilakukan
disana. Setidaknya kita harus melakukan penjabaran berdasarkan nama wisatanya.
Sebagai
contoh, bahwa dimanapun tempat wisata pasti selalu identik dengan dunia hiburan
yang kadang-kadang bersifat euforia dan hedonis. Walaupun tanpa mengabaikan
dunia hiburan, di dalam Wisata Spiritual mungkin hal-hal yang berlebihan
seperti itu perlu diminimalisir agar mudaratnya bisa kita hindari. Terggantung
kematangan kita dalam mengonsepkan, bisa diisi dengan kegiatan cagar budaya
(pengenalan budaya), pentas seni, atau apapun yang lebih bermanfaat yang
mencirikan nila-nilai positif kehidupan kita disana.
Ini
akan lebih menarik saya kira, daripada kita hanya ingin sekedar dikenal dunia.
Sekali lagi dunia sudah mengetahui letusan gunung tambora, hanya saja cara kita
mendandan tambora ini yang perlu kita upayakan secara maksimal agar tidak
termakan jaman.
Hal
semacam inilah yang saya lihat lebih menarik ketimbang kita mengadakan kegiatan
besar seperti perayaan festival yang baru-baru ini kita laksanakan, yang mana
muatannya tidak lain hanyalah acara ceremonial belaka tanpa nilai tawar yang
lebih empiris. Sah-sah saja kita mengadakan acara festival atau seminar apapun,
tetapi hal-hal yang kelihatanya biasa yang sebenaranya bernilai besar kita juga
tidak boleh lupakan.
Misalkan,
diacara festival kemarin seharusnya ada do’a bersama untuk arwah nenek moyang
kita yang telah menjadi korban bencana letusan gunung tambora, karena tidak
bisa dipungkiri bahwa salah satu sebab-musabab kita memiliki inisiasi untuk
membangun wisata disana karena berkat
gugurnya mereka.
Sebagai
penutup, marilah kita merenung apakah pantas kita bisa bersikap bebas sementara
ditanah itu ada kuburan jasad para leluhur kita.***
Tulis Komentar Anda