“Potret Penanganan Pasca Bencana” di Manggemaci, Rumah Dibangun Korban Bersama IDI
Ada Satu Keluarga Tak Dapat Jadup
Foto M. Amin Abdul Azis bersama Putrinya, Endang di rumahnya yang hancur karena banjir bandang dan tak dapat Jadup |
Visioner Berita Kota Bima-Ratusan ribu warga Kota Bima “didera oleh
miskin seketika” akibat ganasnya banjir bandang yang terjadi pada 21 dan 23
Desember 2016 dengan bukti adanya rumah hanyut (rusak berat), rusak sedang dan
isi rumahnya juga ludes adalah bukan cerita fiktif. Pemerintah hadir memberikan
bantuan berupa dana pembersihan masing-masing Rp500 per Kepala Keluarga (KK)
dan dana Jaminan Hidup (Jadup) masing-masing Rp900 ribu ke perorang pada setiak
KK kendati masih ada yang mengaku belum terima Jadup, juga tidak bisa dinafikan
oleh siapapun. Namun, janji Pemerintah membangun kembali rumah hanyut dan rusak
sedang yang diikuti dengan bantuan perabotan masing-masing Rp3 juta, hingga
kini masih ditagih oleh korban bencana dimaksud. Berikut Visioner mengungkap liputan
khusus “potret penanganan pasca bencana”
di dua RT di Kelurahan Manggemachi Kota Bima.
Rentang waktu terjadinya bencana
banjir bandang yang maha dahsyat di Kota Bima dengan sekarang (2018), tercatat
sudah lebih dari setahun. Jumlah korban yang rumah hanyut dan rusak sedang
akibat musibah tersebut, jumlahnya bukan hanya satu orang. Setelah sebelumnya
sejumlah awak media melihat secara langsung kondisi kehidupan korban bencana di
sejumlah wilayah, beberapa hari lalu Visioner kembali melakukan hal yang sama
di dua RT di Kelurahan Machi, Kecamatan Rasanae Barat-Kota Bima.
Inilah rumah korban bencana di lingkungan itu yang dibangunnya bersama pihak IDI |
“Beberapa rumah ini, dibangun
oleh kami bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Rumah ini dibangun sekitar enam
bulan setelah terjadinya banjir bandang. IDI menyiapkan triplek dan material
berupa kayu untuk kerangka bangunan saja. Sementara untuk bangunan dasar beberapa
rumah tersebut berikut seng sebagai atapnya, itu murni partisipasi kami sebagai
korban bencana banjir bandang. Tidak ada campur tangan Pemerintah terkait
bangunan ini. Sementara yang kami terima dari Pemerintah, hanya biaya
pembersihan dan uang Jadup. Yang jelas, ada lima unit rumah yang dibantu
dibangun oleh pihak IDI di lingkungan ini,” ungkap salah seorang korban bencana
bernama Sirajudin.
Warga miskin yang berprofesi
sebagai tukang gerobak pengangkut pasir yang memiliki anak sebagai atlet
berprestasi (pelari maraton) sembari memperlihatkan bukti berupa medali dan
piagam penghargaan ini kemudian menyatakan, hadirnya IDI dalam kaitan itu
diakui sangat menlong. Dia kemudian menandaskan, di lingkungan ini terdapat
lima unit rumah lima orang KK yang juga korban banjir yang bandang yang dibantu
dibangun oleh IDI. Yakni Dahlan, Firmansyah, Zulkifli, Eko dan Margono. Lima KK
ini, diakuinya hanya menerima bantuan anggaran Jadup dan dana pembersihan dari
Pemerintah.
“Kami berterimakasih besar kepada
pihak IDI. Kalau tidak ada campur tangan IDI terkait pembangunan sejumlah rumah
ini, tentu saja kehidupan kami justeru semakin memprihatinkan. Isi rumah kami
di sini hancur oleh banjir bandang, tetapi tidak ada yang memikirkan itu.
Sementara janji Pemerintah untuk membangun kembali rumah hanyut dan rusak
sedang akibat banjir bandang itu, hingga kini masih terus kami tagih. Kami
yakin, keluhan sekaligus tagihan yang sama juga muncul dari korban-korban banjir
bandang lain yang ada di Kota Bima,” ujarnya.
Masih di wilayah itu, warga sekaligus
korban bencana banjir bandang pun berbondong-bondong memberikan penjelasan
kepada Visioner. Selain mengapresiasi dan berterimakasih kepada IDI, Visioner
dan Pemerintah atas bantuan biaya pembersihan dan Jadup, mereka kemudian dengan
sabar menunjukan satu-per satu rumah yang dihajar banjir bandang.
Janda tua bernama Hadijah dengan gubuk mini yang dibangunya dari material bekas banjir bandang |
Lagi-lagi di lokasi itu, warga
kemudian menunjukan rumahnya Heri Kuswandi. Rumah Heri ini, juga hancur karena
banjir bandang. Hampir seluruh dinding rumah Heri ini, terlihat berdindingkan
terpal. Isteri Heri Kuswandi mengungkap, terpal yang digunakan sebagai dinding
rumah tersebut dibeli sendiri, bukan sumbangan dari Pemerintah.
“Kalau dinding rumah ini tidak diatasi
dengan terpal, jelas tidak nyaman dong Pak.
Kendati dinding rumah sudah diatas dengan terpal, kami masih tidak
nyaman Pak. Soal bantuan Jadup dan anggaran pembersihan dari Pemerintah, memang
sudah kami terima, dan demikian juga dengan korban lainnya di wilayah ini. Namun
janji Pemerintah untuk terkait bantuan rumah hanyut dan rusak sedang, sasmpai
sekarang belum juga terwujud sampai sekarang ini. Kecuali, para petugas saat
itu hanya datang mencatat, dan mengumpulkan KTP kepada kami,” beber isterinya
Heri Kuswandi.
Nasib yang tak kalah
memprihatinkan akibat bencana banjir bandang di wilayah itu, juga menimpa
seorang janda tua bernama Hadijah. Kepada Visioner, Hadijah menjelaskan
memiliki rumah permanen sebelum terjadinya banjir bandang. Tetapi, hadirnya
banjir bandang spontan saja membuat rumah dan isinya ludes. Mirisnya, karena
tidak punya rumah akhirnya janda tua ini membangun gubuk dengan ukuran mini
sebagai tempat tingal.
“Gubuk ini saya bangun dengan kayu
bekas banjir bandang. Soal bantuan dari Pemerintah, saya hanya terima biaya
pembersihan dan uang Jadup dengan nilai sesuai jumlah orang yang tinggal di
rumah ini, maksudnya Rp900 ribu per orang. Sementara janji Pemerintah terkait
membangun kembali rumah ini, hingga sekarang belum terlaksana,” jelas Hadijah.
Visioner berlum beranjak dari
wilayah itu, warga kemudian menunjukan rumahnya seorang pengait pasir sebagai
sumber kehidupannya bernama Dahlan yang juga hancur karena bencana banjir
bandang di penghujung Desember 2016. Demi melanjutkan kehidupan bersama empat
orang dalam rumah itu, Dahlan membangun membangun rumah dari material sisa
banjir bandang.
“Bantuan Pemerintah yang kami
terima hanya berupa uang Jadup senilai Rp3,6 juta untuk empat orang di rumah
ini dan dana pembersihan sebesar Rp500 ribu. Sementara janji Pemerintah untuk
membangun kembali rumah hanyut dengan biaya Rp40 juta plus Rp3 juta untuk biaya
perabotan dan Rp20 juta plus uang perabotan Rp3 juta untuk rumah sedang, hingga
kini belum juga dijawab. Sampai kapan kami hidup seperti ini, dan kapan pula
Pemerintah memenuhi janjinya itu,” tanyanya.
Di RT 02/1 Kelurahan Manggemaci
ini, juga ada rumahnya Pak Eko yang kondisinya parah akibat banjir bandang
dimaksud. Namun, Eko yang hidup bersama isteri dan dua orang anak ini mengaku
menerima bantuan berupa biaya pembersihan Rp500 ribu dan dana Jadup dari
Pemerintah. “Hanya dua jenis bantuan itu saja yang kami terima dari Pemerintah,
sementara yang lain sampai saat ini masih ditunggu-tunggu,” tuturnya.
Inilah rumah salah satu KK korban banjir bandang di sana, hingga saat ini masih berdindingkan terpal |
Masih di lingkungan RT 02/1
Kelurahan Manggemaci, Visioner juga sempat bertemu dengan seorang pekerja
serabutan dan sesekali menjadi supir angkutan umum yang rumah permanennya
hancur dihajar banjir bandang di penghujung Desember 2016 yakni Abdul Azis M.
Amin. Pada moment itu, yang bersangkutan di dampingi oleh seorang putrinya
yakni Endang sembari mengajak Visioner untuk melihat langsung rumah dan isinya
yang ludes akibat bencana dimaksud.
“Rumah ini hancur karena banjir
bandang, seisi rumahpun ikut ludes, pun tak selempar pakaian dibadan yang
tersisa. Soal bantuan dari Pemerintah, hanya anggaran pembersihans enilai Rp500
ribu yang saya terima. Sementara anggaran Jadup, sama sekali tidak saya terima.
Untuk hal itu, saya tidak tahu apakah Pemerintah lupa mencatat saya sebagai
penerima Jadup atau bagaimana, Wallahualam Bilsyawaf,” tanyanya dengan lirih.
Karena alasan hidup dibawah garis
kemiskinan, dia mengaku tak memiliki biaya untuk material guna tinggal kembali
di rumah tersebut. Kecuali, sejak rumahnya hancur karena banjir bandang dia
mengaku terpaksa tinggal di rumah suaminya Endang (menantu) yang lokasinya
masih di Kelurahan Manggemaci.
“Anda (Wartawan) sudah melihat
langsung bagaimana parahnya rumah ini yang dihajar oleh banjir bandang, lantas
kenapa yang lain menerima bantuan Jadup, sementara yang lainnya justeru
diperlakukan sebaliknya (terima bantuan Jadup). Sekali lagi, bantuan yang saya
terima dari Pemerintah biaya pembersihan Rp500 ribu. Setelah banjir bandang,
petugas hanya datang mencatat, mengumpulkan KTP dan KK saja. Namun setelah itu hingga
sekarang, mereka tak lagi ke sini. Harapan saya, janji Pemerintah untuk
membangun kembali rumah ini segera dituntaskan. Sebab, saya tidak nyaman hidup
di rumah menantu. Sebelum banjir bandang, saya hidup bersama isteri dan seorang
cucu di rumah ini,” terangnya.
Foto bersama korban banjir bandang di sana di ujung lensa Visioner |
Di lingkungan ini, juga ada satu KK
yang rumahnya menjadi korban banjir bandang dimaksud. Herman yang hidup bersama
isterinya ini mengaku, bantuan yang diterimanya dari Pemerintah hanya berupa
anggaran pembersihan senilai Rp500 ribu plus satu satu kasur. Sementara bantuan
lainnya, diakuinya tidak pernah ia terima dari Pemerintah.
Singkatnya, seluruh korban banjir bandang di dua
wilayah itu mendesak Pemerintah agar segera memenuhi janjinya untuk membangun
kembali rumah mereka yang hancur karena banjir bandang termasuk kembali kembali
ke lapangan untuk mengecek langsung seorang warga yang sampai sekarang belum
menerima bantuan Jadup (Abdul Azis M. Amin). Pertanyaan apakah mereka setuju
untuk direalokasi di tempat yang disediakan oleh Pemerintah guna tidak hidup
lagi di bantaran sungai, mereka menyatakan siap berhijrah. “Sepanjang lokasi
itu nyaman, tentu saja kami siap untuk berhijrah dari bantaran sungai ke tempat
yang disediakan oleh Pemerintah,” pungkas para korban banjir bandang di wilayah
itu. (TIM VISIONER)
Tulis Komentar Anda