“Pemandangan Seksi” Masih Ada Terkait Penanganan Pasca Banjir Bandang 2016
Sebuah pemandangan "seksi" di RT01/01 Kelurahan Nae-Kota Bima |
Visioner Berita Kota Bima-Kesengsaraan warga Kota Bima akibat
banjir bandang di penghujung Desember 2016 adalah fakta tak terbantahkan.
Sementara optimalisasi yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk Pemerintah,
dinilai lebih kepada soal penyegaran psikologis warga sebagai korban bencana.
Namun optimalisasi pelayanan atas ekspektasi publik di Kota Bima di bidang
pelayanan pasca bencana, tercatat masih menyisakan banyak Pekerjaan Rumah (PR)
yang sampai saat ini belum mampu dimaknai.
Salah satunya, yakni terletak
pada jawaban kongkriet terkait pembangunan rumah warga yang hanyut dan rusak
sedang akibat banjir bandang. Setelah menelusuri sejumlah warga yang rumahnya
hanyut dan rusak berat di Kota Bima, kini visioner kembali melakukan hal yang
sama. Yakni di RT 01/01 Kelurahan Na’e-Kota Bima. Di sana terdapat empat KK
yang rumahnya hanyut dan ada pula yang rusak berat akibat banjir bandang. Oleh
karenanya, pemandangan “seksi” terkait penanganan pasca banjir bandang masih
saja terlihat sampai sekarang.
Diantaranya milik Sumardi,
Arifudin, Aminah, Husen, Ridwan, Jainudin dan Bram. Dari sejumlah nama sebagai
pemilik rumah hanyut dan rusak sedang tersebut mengaku, membangun kembali
rumahnya dengan kayu bekas banjir bandang mulai dari dinding hingga atapnya
dengan menggunakan biaya sendiri. Dan diantara rumah-rumah tersebut, kini
terlihat masih ada yang berdindingkan bilik yang terbuat dari bambu dan bahkan
baliho organisasi.
Sementara tarpal bantuan dari
pemerintah yang digunakannya sebagai dinding rumah, diakuinya sudah rusak.
Bantuan lain yang diberikan oleh Pemerintah kata keempat orang tersebut,
diantaranya pakaian layak pakai, perabotan berupa kompor gas dan alat dapur
lainnya, tarpal, tikar dan uang Jaminan Hidup masing-masing Rp900 ribu per
orang.
“Sampai sekarang, kehidupan kami
masih sangat tidak nyaman. Pemicunya, anda sudah melihat sendiri bagaimana
bentuk bangunan sebagai tempat tinggal kami ini. Dindingnya terbuat dari kayu
rapuh dan terpal yang sudah rusak,” ungkap Ibu Ros yang merupakan isterinya
Arifudin.
Ros kemudian mengungkap masalah
yang dinilai mengejutkan. Yakni soal anggaran Jadup yang diterimanya. Dari jumlah
enam orang yang ada di rumahnya, hanya empat orang yang menerima Jadup.
Sementara dua lainnya, diakuinya tidak menerimanya. “Empat orang menerima
anggaran Jadup masing-masing Rp900 ribu. Sementara dua orang lainnya, sama
sekali tidak menerima Jadup. Kami juga tidak tahu apa yang menjadi alasan
kepada dua orang tersebut,” ungkap Ros.
Papar Ros, petugas saat itu
berjanji akan memberikan anggaran Jadup kepada dua orang yang belum mendapatkannya
tersebut. Namun setelah ditunggu sekian lama, janji tersebut diakuinya tak
kunjung terwujud. “Saat itu mereka berjanji untuk datang memberikan Jadup
kepada dua orang dimaksud. Namun sampai sekarang, itu tak kunjung diwujudkan.
Kami juga tidak tahu, apakah itu datanya yang kurang lengkap atau uang Jadup
untuk dua orang tersebut hilang ditengah jalan,” katanya dengan nuansa tanya.
Sementara tetangganya yang
lainnya, diakuinya telah menerima Jadup secara utuh berdasarkan jumlah kepala yang
ada. Misalnya, Ridwan Azis menerima Jadup Rp5,4 Juta untuk enam orang, Sumadi
menerimanya Rp2,7 juta untuk tiga orang dan masih ada yang lainnya yang
diperlakukan sama soal Jadup. “Soal anggaran Jadup, dilingkungan ini hanya kami
saya yang tidak semuanya menerima Jadup,” beber Ros.
Tetapi, pihaknya juga tidak menafikan telah menerima anggaran pembersihan masing-masing Rp500 ribu per KK. Ros yang juga ditemani oleh sejumlah
pemilik rumah hanyut dan rusak berat tersebut menceritakan, beberapa hari setelah
terjadinya banjir bandang, Pemerintah pernah memberikan anggaran mamsing-masing
Rp40 juta untuk rumah hanyut dan masing-masing Rp20 juta untuk rumah rusak
sedang.
“Untuk menindaklanjuti janji
tersebut, kami sudah mengumpulkan KTP dan KK dan kemudian sudah diserahkan
kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Bima. Namun sampai sekarang, janji tersebut tak
kunjung diwujudkan. Padahal, rentang
waktu jika dihitung mulai dari banjir bandang hingga sekarang, sudah
berlangsung setahun lebih,” tandasnya.
Ini lagi pemandangan "yang tak kalah seksinya" |
“Tidak mungkin kami menerima anggaran beda
rumah itu, pak. Masalahnya, untuk yang itu kami harus mengeluarkan biaya
sendiri bagi sewa tukan dan upah buruh. Sementara para suami kami, semuanya
berprofesi sebagai tukang ojek dengan pendapat perhari hanya cukup untuk biaya
makan dan minum. Pokoknya, semuanya yang rumahnya hanyut di lingkungan ini
tetap menagih jani Pemerintah terkait anggaran masing-masing Rp40 juta per
rumah hanyut. Sebab, itu janji yang harus Pemerintah wujudkan dan sampai hari
ini kami masih menantinya,” tegas Ros.
Ros dkk juga mengaku kecewa atas
janji Pemerintah tersebut, pasalnya sampai hari ini belum juga diwujudkan. “Janjinya
waktu itu, anggaran untuk rumah hanyut akann diberikan dalam waktu sebulan
setelah terjadinya banjir bandang. Lha, ini waktunya sudah setahun lebih.
Lantas kemana anggaran masing-masing Rp40 juta untuk rumah hanyut dan
masing-masing rp20 juta untuk rumah rusak sedang tersebut,” tanya Ros dkk.
Ros dan kawan-kawannya (dkk)
kemudian bercerita bagaimana nasibnya saat di rumah yang dibangun dari kayu
sisa banjir bandang dan berdindingkan tarpal bantuan Pemerintah. “saat itu ada
anak-anak yang sakit. Namun, sekarang anak-anak sudah tidak ada yang sakit.
Sebab, dinding rumah yang terbuat dari kayu sisa banjir bandang tersebut
lumayan untuk bisa menahan angin maupun terpaan hujan. Untuk pembangunan rumah
kami ini, juga dibantu oleh biaya dari anak-anak yang beprofesi sebagai penjaga
toko,” paparnya.
Kendati demikian, pihaknya
mengaku tak nyaman hidup di rumah yang masih berdindingkan tarpal dan kayu
bekas, beratapkan seng dimaksud. Oleh karenanya, pihaknya mendesak Pemerintah
untuk segera memenuhi janjinya kepada warga yang rumahnya hanyut dan rusak
sedang akibat banjir bandang dimpenghujung Desember tahun 2016.
Tak hanya itu, Ros dkk juga
mengungkapkan ada seorang Janda yang rumah hanyut akibat banjir bandang.
Bantuan yang diterimanya dari Pemerintah, adalah sama dengan beberapa orang
lainya. Dan janda tersebut, diakuinya sama sekali tidak memiliki pekerjaan.
“Segera penuhi
janjinya, hanya itu yang bisa kami sampaikan kepada Pemerintah. Sebab, kami
adalah masyarakat yang wajib dilayani oleh negara. Dan, kami tetap menolak
program bedah rumah sebagai pengganti rumah hanyut dan rusak sedang,” pungkas
Ros dkk. (TIM VISIONER)
Tulis Komentar Anda