Kisah Nyata Mahasiswi Cantik, Tak Malu Berjualan Ikan Demi Kemandirian
Sufriyati menggunakan Almamater (tengah) diapit oleh dua orang rekannya saat berjualan ikan pepes di halaman Asi Mbojo |
Visioner Berita Kota Bima-Ikan laut di pasar-pasar adalah
rentan terhadap bau. Semua orang mengakui hal itu. Namun, ikan laut adalah
kebutuhan bagi semua orang. Menurut pakar kesehatan dunia, ikan laut memiliki
omega paling tinggi ketimbang daging sapi, kerbau dan lainnya. Masih menurut
pakar kesehatan dunia, memakan ikan laut bagi anak-anak kecil, tentu sangat
mempengaruhi cara kerja otak (pintar) dan mampu menambah ketahanan tubuhnya
(daya imun). Ketinggian zat omega yang ada pada ikan laut, juga menjadi pemicu
bagi orang dewasa maupun orang tua untuk terus menikmatinya (juga menyakut soal
daya imun tubuh).
Tetapi, berjualan ikan laut tak
semua orang mau menggelutinya. Apalagi yang namanya wanita cantik, sangat
jarang sekali ditemukan berprofesi sebagai penjualan ikan. Kemungkinan besar
wanita cantik ogah menjadipenjual ikan, karena alasan menghindari bau. Catatan
mengungkap adanya indikasi, yakni hampir tidak ditemukan adanya wanita cantik
yang berstatus lajang yang berprofesi sebagai penjual ikan lain di pasar-pasar
khususnya Bima. Kecuali, dominan pedagang ikan laut adalah orang tua.
Namun seorang wanita cantik asal Kelurahan
Kodo, Kecamatan Rasanae Timur-Kota Bima, yakni Sufryati. Mahasiswi Semester
VIII jurusan Bimbingan Konseling (BK) pada STKIP Bima ini, ditemukan oleh
Visioner saat melaksanakan kegiatan menjual ikan pepes di lingkungan Museum Asi
Mbojo-Kota Bima. Saat itu, Sufriyati di dampingi oleh dua orang pendampingnya,
salah satunya bernama Dewi Kartika Sari (mahasiswi satu kelas dengan Sufriyati).
“Sebelum berjualan ikan pepes di
lingkungan Museum Asi Mbojo dengan memanfaatkan keraiaman salah satu even
budaya ini, tercatat sudah dua minggu
saya memulai berdagang ikan pepes ini. Semula, saya menjual ikan di kampung
saya di Kelurahan Oimbo dan sekarang saya melakukan hal yang sama di Asi Mbojo ini,”
terang Sufriyati kepada awak Media yang didampingi oleh dua orang pendampingnya,
Jum’at (26/1/2018).
Berjualan ikan pepes dengan cara
keliling, bukan saja dilakukan di Oimbo. Tetapi hal yang sama, juga
dilakukannya di Kodo dan Kumbe. “Motivasi saya menjual ikan, karena hasilnya
bisa ditabung, bayar kuliah dan juga bisa membantu orang tua. Saya kuliah di
STKIP Bima, semester VIII jurusan BK. Karena hobi saya juga suka memasa, yang
saya juga mengeksplore menjual ikan pepes ini. Jadi karena saya juga hobi
memasak, apa salahnya saya mencoba menjual ikan pepes. Memasak dan menjual ikan
pepes ini dilakukan oleh saya sendiri, sementara Dewi Kartika Sari dan teman
yang satunya lagi adalah pendamping pada saat acar Bazar saja,” terangnya.
Anak ke lima dari enam bersaudara
yang dilahirkan oleh seorang petani ini menjelaskan, modal dasar untuk menjual
ikan pepes ini tidaklah banyak. Kecuali, Rp200 ribu, sementara keuntungan yang
diperolehnya tiap hari sekitar Rp50 ribu-Rp60 ribu. Modal awal Rp200 ribu
tersebut, saya peroleh dari orang tua. Perasaan saya, dagangan ini agak berkembang.
Dan Insya Allah, akan saya akan mempertahankannya,” ujarnya.
Ikan pepes yang dijualnnya,
memiliki tiga varian. Ada yang dari bumbu Bali, bumbu Mangge Moro (asam muda)
dan Kincang (bumbu kawi dalam bahasa Bima). Bumbu Manggemoro dengan Kawi,
diakuinya disatukan. “Selama berjualan ikan pepes keliling ini, dosen saya juga
berminat. Aktivitas berdagang ikan pepes keliling ini, biasanya saya lakukan di
luar jam kuliah. Jadi, saya harus membagi waktu untuk berdagang dan untuk
kuliah. Yang jelas, hasil dagangan ini juga membantu biaya kuliah saya,”
tandasnya.
Kendati mengakui bahwa pekerjaan
yang tengah digelutinya agak berkembang, ia mengaku belum memiliki niat untuk
membangun tempat khusus untuk ikan pepes ini, makasudnya agar tidak berdagang
keliling seperti ini sekarang. “Belum ada rencana untuk membangun tempat
khsusus, sebab saya belum sepenuhnya bisa membagi waktu untuk berdagang dengan saat
untuk kuliah. Masalahnya, kerja ini tidak diestafetkan kepada orang-orang di
rumah. Sebab orang-orang di rumah, masing-masing punya kesibukan,” papar wanita
cantik yang mengaku belum punya kekasih ini.
Berdagang ikan pepes ini,
diakuinya rentan dengan bau. Tetapi, semangatnya untuk berdagang ikan pepes
tidak mengenal kata surut. Sebab menurutnya, dengan berdagang ikan ini juga
semua orang bisa belajar memasak. “Kan tidak semua orang bisa memasak, kalau
soal bau ikan bisa dihilangkan dengan jeruk nipis,” jelasnya.
Inilah Sufriyati |
Soal kemandirian dimaksud, dia
berharap suatu waktu akan mengajak teman-temannya yang lain untuk melakukan hal
yang sama. Namun sebelumnya, ia akan melihat dulu tentang bagaimana
perkembangan dari dunia dagang ikan pepes yang sedang digelutinya. “Kalau beli
ikan sebelum dipepes dan kemudian didagangkan, itu saya lakukan setiappaginya
dipasar,” tuturnya.
Lepas dari itu, ia mengungkap
sesuatu yang dinilai mengejutkan. Yakni soal kemandirian, ia mengaku memulianya
sejak duduk di bangku SMP. “Dulu ada kakak dari ibu saya (Ua) yang berprofesi
sebagai penjual ikan pepes, dan dari Ua lah saya belajar mandiri. Dari Ua, saya
liat bisa berjualan dan hasilnya Alhamdulillah lumayan banyak. Jadi,
kemandirian itu sudah saya geluti sejak SMP. Dan orang tuapun, mendukung penuh
tentang apa yang saya lakukan ini. Kegiatan yang saya geluti ini, juga mendapat
apresiasi bahkan pujian dari teman-teman dan Dosen juga,” bebernya.
Singkatnya, dengan kegiatan yang
sedang digelutinya, ia menyatakan merasa terbantu. Dan semangat yang diberikan
oleh banyak pihak tentang kegiatan dimaksud, pun diakuinya terus diterimanya. “Alhamdulillah
mereka terus mensuport semangat saya untuk mengembangkan usaha ini. Mereka juga
meminta agar saya terus berkarya. Untuk itu, saya harus berterima kasih kepada
mereka. Sementara cita-cita besar saya adalah ingin menjadi Guru BK yang
profesional, doakan saja agar cita-cita ini berhasil,” pungkas Sufriyati.
Sekedar catatan, setidaknya ada
hikmah penting dan pesan mulia yang dapat dipetik oleh siapapun terutama
generasi muda Bima serta di manapun dari apa yang dilakukan oleh Sufriyati ini.
Salah satunya, yakni kian terbukanya cakrawala berpikir semua orang untuk tetap
bersikap mandiri.
Dari kisah ‘unik’ Sufriyati ini, cukuplah para orang
tua bekerja keras untuk anaknya sampai usia remaja. Namun setelah tumbuh Dewasa,
dapat membuka cakrawala berpikir untuk bermandiri, membiayai kehidupannya
sediri dengan karya dan kemudian saat itu pula ia membuktikan pengabdiannya
terhadap orang tua serta keluarganya. Terimakasih
dan selamat berjuang untukmu Sufriyati, dan bangkitlah wahai generasi Bima...!!!.
(TIM VISIONER)
Tulis Komentar Anda