Di Kota Bima Ada Manusia Yang Tinggal di Atas Pohon Mangga
Di rumah yang dibangun diatas pohon mangga inilah One bersama isteri dan anaknya tinggal |
Visioner Beritan Kota Bima-Lazimnya hanya burung yang tidur di atas
pohon. Namun di Kota Bima, ada manusia yang hidup-tidur di atas pohon mangga.
Dia adalah Sukardin alias One, warga RT 03/03 Kelurahan Monggonao, Kecamatan
Rasanae Barat-Kota Bima. Ia membangun rumah di atas pohon mangga, hidup dengan
isteri dan seorang anak. Ia membangun
rumah dan hidup di atas pohon mangga, sudah lebih dari setahun.
Gubuk yang dibangun di atas pohon mangga tersebut, terlihat beratapkan tarpal sedanya, berdindingkan triplek dan semacam kertas tebal. Kondisi tersebut, menderminkan adanya ketidaknyamanan bagi One beserta isteri dan anaknya. Disaat musim hujan sekarang ini, sepertinya One beserta isteri dan anaknya harus rela basah. Pun, mereka tak luput dari hempasan angin. Kenapa bisa seperti itu?, ikuti pengakuan One yang juga berprofesi sebagai tukang ojek dengan pendapatan terbatas ini kepada visioner, Rabu (3/1/2028).
Gubuk yang dibangun di atas pohon mangga tersebut, terlihat beratapkan tarpal sedanya, berdindingkan triplek dan semacam kertas tebal. Kondisi tersebut, menderminkan adanya ketidaknyamanan bagi One beserta isteri dan anaknya. Disaat musim hujan sekarang ini, sepertinya One beserta isteri dan anaknya harus rela basah. Pun, mereka tak luput dari hempasan angin. Kenapa bisa seperti itu?, ikuti pengakuan One yang juga berprofesi sebagai tukang ojek dengan pendapatan terbatas ini kepada visioner, Rabu (3/1/2028).
“Rumah untuk tempat tinggal
bersama anak dan isteri yang di atas pohon mangga ini, dibangun pasca
terjadinya banjir bandang pada Desember 2016. Kami tinggal di atas pohon mangga
ini, karena rumah kami sebelumnya sudah hancut dihajar oleh banjir bandang. Teerdapat
lima rumah warga di sini yang hanyut dihajar bencana banjir bandang waktu itu.
Saya membangun rumah di atas pohon mangga, sementara yang lainnya membangun
rumah panggung dari kayu bekas banjir, posisinya di sebelah timur rumah saya,”
ungkap One.
Enam rumah yang hanyut itu, yakni
miliknya One, Nurdin, Salahudin, Nasarudin, Azis dan Thamrin. Baik One maupun
Nurdin mengaku, Pemerintah pernah menjanjikan akan memberikan anggaran sebesar
Rp40 juta kepada warga yang rumahnya hanyut, Rp20 juta bagi warga yang rumahnya
rusak sedang akibat banjir bandang, serta janji adanya uang perabotan setelah
rumah dibangun (pengganti rumah hanyut) sebesar Rp3 juta. “Sampai sekarang,
kami tidak pernah terima janji itu. Yang kami terima hanya uang pembersihan
masing-masing Rp500 ribu dan anggaran Jaminan Hidup (Jadup) dari Kemensos RI
melalui Dinas Sosial (Disos) Kota Bima,” tandas One dan Nurdin.
Persinggahan sementara rekan-rekan One sambil menunggu bangunan permanen dari program bedah rumah |
“Yang kami terima itu bukan
berupa uang. Tetapi, berbentuk material yang di drooping oleh Pemerintah. Setelah
itu, kami membangun rumah dengan anggaran dimaksud. Sementara biaya tukang dan
buruh, itu ditanggung oleh kami sendiri. Ini yang sangat memberatkan kami.
Untuk upah buruh dan tukang setiap hari, kami harus utang kemana-kamana.
Sementara pendapatan kami sebagai tukang ojek per harinya, hanya cukup untuk
biaya hidup anak dan isteri,” keluh One dan Nurdin.
Harusnya kata One dan Nurdin,
pihaknya menerima anggaran Rp40 juta karena rumahnya hanyut alias rusak berat
karena diterjang banjir bandang sebagaimana janji Pemerintah saat itu. Terkait
dengan hal itu, pihaknya juga sempat bertanya kepada Dinas Tatakota Kota Bima.
Namun, jawaban yang diterimanya dari Dinas Tatakota, anggaran Rp40 juta itu
sesungguhnya tidak ada.
“Mereka mengatakabn anggaran Rp40
juta untuk rumah hanyut dan Rp20 juta untu rumah rusak sedang, itu tidak ada.
Makanya, mereka menggantikannya dengan program bedah rumah seperti yang kami
kerjakan sekarang. Program bedah rumah oleh Pemerintah ini memang harus kami
terima. Tetapi, bebean kami semakin berat. Yakni harus menanggung biaya tukang
dan upah buruh. Sementara kondisi kehidupan kami ini sangatlah terbatas,” tutur
One dan Nurdin.
Hingga kini One bersama isteri
dan anaknya masih tinggal di rumah yang terbuat dari kayu bekas banjir bandang
di atas pohon mangga. Sementara Nurdin dan lainnya, masih masih tinggal di
rumah kayu yang terbuat dari bekas kayu sisa banjir bandang, lokasinya
disebelah timur rumahnya One. One masih tinggal di rumah yang dibuatnya di atas
pohon mangga semabil menunggu peneylesaian pembangunan rumah permanen dari
program bedah rumah tersebut.
Pun demikian dengan Nurdin dan
lainnya, masih tinggal di rumah kayu yang terbuat dari kayu sisia banjir
sebelum rumah permanen dari progma program bedah rumah itu dituntaskan
pembangunannya. “Bangunan dari program bedah rumah ini, kami tidak tahu kapan
selesainya. Tetapi, kami merasakan hal yang sangat berat. Yakni khususnya untuk
biaya tukang dan upah buruh. Satu hari, kami harus mengeluarkan uang pribadi
untuk ongkos tukang dan upah buruh masing-masing Rp300 ribu,” tandasnya.
Secara terpisah, Kadis Tatakota
dan Perumahan melalui Kabid Perumahan Kota Bima, Mjuktadi S.Sos yang dimintai
komentarnya, membenarkan adanya program beda rumah yang diterima oleh sejumlah
warga tersebut. Sebelum program tersebut katanya, pihaknya terlebih dahulu
menanyakan apakah warga dimaksud menerima program beda rumah atau menunggu
anggaran dari BPNB senilai Rp40 juta untuk rumah rusak berat dan Rp20 juta
untuk rumah rusak sedang.
Inilah bangunan yang belum usai untuk One Cs dari Program Bedah rumah tahun 2017 itu |
Pria yang akrab disapa Gito ini
menjelaskan, bagi warga yang sudah menerima program beda rumah tidak akan lagi
mendapatkan anggaran dari BPNP terkait rumah rusak berat alias hanyut maupun
rumah rusak sedang akibat bencana banjir bandang pada Desember 2016. “Mereka
yang rumahnya rusak berat maupun sedang akibat bencana banjir bandang tetapi
sudah menerima program bedah rumah tidak boleh lagi menerima anggaran dari
BPNPB dimaksud. Jadi, mereka tidak boleh menerima dua mata anggaran. Itu merupakan
ketegasan aturan yang berlaku,” katanya.
Terkait anggaran bantuan bencana
banjir bandang katanya, pihaknya bekerja dan berjuang keras bahkan sampai
menginap di Jakarta untuk menyusun RAB. Masih kata Gito, pihaknya bahkan
meminta agar anggaran bagi warga yang rumahnya hanyut alias rusak berat maupun
rusak sedang dinaikan angkanya sampai Rp60 juta per rumah rusak berat.
Uniknya, terkait anggaran bencana
senilai Rp166 M dari Pemerintah Pusat untuk penanganan pasca bencana (dana On
Call) yang ada di rekening 99, Gito menegaskan bukan karena perjuangan anggota
Komisi VIII DPR-RI, HM. Lutfi Iskandar, SE. Padahal dalam catatan media massa
mengungkap, anggaran itu hadir atas perjuangan Pemerintah baik Pusat melalui
BPNPB dan Kemensos RI maupun Pemkot Bima yang didahului oleh adanya perjuangan
dan persetujuan dari pihak Komisi VIII DPR-RI yang di dalamnya juga ada nama
Lutfi.
Gito ini terkesan risih jika nama Lutfi dikait-kaitkan
dengan menghadirkan anggaran Rp166 M di Kota Bima tahun 2017 yang dipergunakan penanganan
pasca bencana banjir bandang yang terjadi pada Desember 2016. “Anda jangan mengkait-kaitkan
nama Lutfi soal menghadirkan anggaran tersebut,” pungkas Gito. (TIM VISIONER)
Tulis Komentar Anda