Lutfi Bicara Blak-Blakan Soal Penanganan Pasca Bencana di Kota Bima
Anggota Komisi VIII DPR-RI, HM. Lutfi Iskandar, SE |
Visioner Berita
Kota Bima-Bencana banjir
bandang yang melanda Kota Bima selama dua kali di penghujung Desember 2016,
telah menyisakan banyak kenangan pahit bagi masyarakat setempat. Bencana
terbesar perdana dalam sejarah itu, praktis membuat masyarakat Kota Bima miskin
seketika, dan bahkan tak berdaya. Beruntung, peristiwa kelam itu tak satupun
memakan korban jiwa (meninggal dunia).
Hampir setahun lamanya, sejarah kelam itu (banjir
bandang) terhempas dari Kota Bima. Kendati upaya pemulihan psykologi warga Kota
Bima berhasil diwujudkan oleh berbagai pihak, namun masih ada persoalan penting
lainnya alias pekerjaan rumah (PR) yang hingga kini belum mampu
dituntaskan-sebut saja soal upaya penanganan pasca bencana.
Salah satunya, yakni belum adanya jawaban kongkriet
pemerintah terhadap warga yang rumah hanyut maupun rusak berat akibat banjir
bandang. Menariknya, akhir-ahkhir ini ada yang menyebutkan, bahwa janji pemerintah
membangun kembali rumah warga yang hanyut maupun rusak berat akibat banjir
bandang hanyalah isu sesat
Terkait fenomena yang masih diperdebatkan secara tajam
tersebut, salah seorang anggota Komisi VIII DPR-RI, HM. Lutfi Iskandar, SE-kini
bersuara lantang. “Soal Jadup, kan sudah diserahkan kepada korban bencana
dengan nominal masing-masing Rp900 ribu per kepala. Demikian pula halnya dengan
anggaran cash of work, semuanya sudah diserahkan oleh pemerintah kepada masyarakat
Kota Bima (terdampak banjir bandang),” tandas Lutfi kepada visioner.co.id
melalui saluran selulernya, Senin (6/11/2017).
Sebagai anggota Komisi VIII DPR-RI yang berkorelasi
langsung dengan Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian
Sosial (Kemensos) RI, Lutfi menuding bahwa penanganan pasca bencana yang ada di
Kota Bima, sangat lamban jika dibandingkan dengan Kota-Kota lain di seluruh Indonesia.
“Dikatakan sangat, itu karena pemerintah tidak proaktif
secara nyata dalam mengurusi hal yang bersifat kebutuhan primer, seperti
masyarakat yang rumahnya hanyut dan yang rumahnya. Padahal, ada alokasi
anggaran yang disiapkan di BNPB seperti yang diutarakan oleh Kepala BNPB dan
dijelaskan oleh Menteri Sosial (Mensos) RI,” tudingnya.
Lutfi menjelaskan, ranahnya Mensos yakni memberikan Jadup
dan itu sudah direalisasikan. Setelah rumah yang hanyut selesai dibangun, maka selanjutnya
diberikan perabotan sebesar Rp3 juta per rumah. Hal itu, diakuinya sebagai rangkaian
yang tidak terpisah.
“Kalau warga dapat Jadup, jika rumahnya yang hanyut sudah
selesai dibangun, maka selanjutnya diberikan perabotan sebesar Rp3 juta per
rumah. Nah, ini bicaranya Menteri. Sekali lagi, rangkaian yang tidak terpisah
itu adalah Jadup, rumah dan perabotan. Tetapi hari ini, semua itu dianggap
bohong,” tutur Lutfi dengan nada keheranan.
Lutfi bertanya, bagaimana itu bisa dianggap bohong,
sementara awalnya dibuat Jadup, rumah dan penutupnya adalah perabotan. Yang jadi masalah adalah, rumah tersebut tidak
bisa hadir di Kota Bima karena pemerintah, tidak bisa membagi data. Maksudnya,
mana data yang di pinggir sungai yang memang direlokasi, mana rumah yang
direlokasi, dan mana rumah yang bukan direlokasi di luar sungai.
“Kan banyak rumah yang hancur, yang roboh bukan
dipinggiran bantaran sungai. Nah, ini yang harus disiapkan dulu, diajukan ke
BNPB, menjelaskan bahwa rumah di sana sudah ada, sebahagian perlu direlokasi
dan sebahagian tidak perlu direlokasi. Harusnya dilakukan seperti itu, guna
membuktikan ketanggapan seseorang dalam memecahkan persoalan,” urainya.
Tetapi faktanya ungkap Lutfi, data itu tidak sampai ke
BNPB. Maksudnya, tidak dibuat dua kasus. Yakni mana rumah dibantaran sungai,
dan mana yang bukan dibantaran sungai. “Saya tahu, karena saya membidangi
bencana. Ya tidak ada, memang proposal yang diajukan dua bagian. Bagian yang
pertama adalah relokasi, kedua yang tidak direlokasi yakni di wilayah di luar
bantaran sungai,” tandasnya lagi.
Yang terjadi, hanya menanggapinya secara parsial (umum). “Parsialnya
kenapa, itu soal relokasi yang di bantaran sungai. Nanti setelah ada tanah,
baru dari BNPB akan menyiapkan bangunan, kan begitu. Pertanyaannya, bagaimana
langkahnya pemerintah setempat bagi warga yang rumahnya di luar bantaran sungai.
Seperti di Penaraga, itu kan di luar bantaran sungai. Pertanyaannya, apakah
mereka harus dua tahun menunggu rumah baru bisa ada rumah. Nah, inilah yang
harus mereka pisahkan proposalnya. Maksudnya, mana proposal yang di bantaran
sungai dan mana pula proposal untuk yang bukan di bantaran sungai. Jika itu
dilakukan, maka keluarga kita yang di luar bantaran sungai bisa diselamatkan,” sebutnya.
Soal relokasi paparnya, itu merupakan kebijakan dari pemerintah
daerah. Jika daerah mau relokasi, itu bisa dilaksanakan. Pun demikian halnnya,
ketika daerah enggan melakukan relokasi. “Tergantung pilihannya, apakah ini urgen
harus direlokasi. Tetapi, dianalisasi
dulu tentang perlu atau tidaknya direlokasi. Ini suatu kebutuhan, apakah anggaran
kita sanggup untuk merelokasi, kan harus begitu. Jangan katakan kita mampu
merelokasi ribuan rumah yang ada, tanpa ada unsur keadilan di dalamnya. Misalnya
rumah mereka yang besar, tiba-tiba diganti tempat yang harganya Rp40 juta, nah
keadilannya di mana,” tanya Lutfi.
Unsur pemimpin itu tegasnya, harus bisa mengedepankan keadilan
dan kemanusiaan. “Jangan orang yang rumahnya bagus, tanahnya luas, bangunannya
gedung, dan hanya rusak yang direlokasi. Itu baru di satu sisi. Yang kedua,
harus dianalisa dulu apakah perlu direlokasi dan sanggupkah anggaran kita untuk
merelokasi,” tuturnya.
Sebab, pemerintah pusat tidak bertanggungjawab tentang
anggaran untuk merelokasi. Sedangkan angaran untukmembiayai perelokasian,
diakuinya murni menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. “Sementara untuk
membangun fasilitasnya, nanti oleh pemerintah pusat. Jadi bicara tentang
bencana, harus paham dulu ini. Jika tak paham soal bencana, bagaimana bisa
menyelesaikan masalah di tengah-tengah masyarakat,” sentilnya.
Apalagi berbicara tentang mitigasi (pencegaha bencana),
Kota Bima diakuinya rawan bencana. Oleh
karenanya, semua pihak harus betul-betul mengerti tentang bencana yang terjadi di
Kota Bima. “Jangan katakan, oh ini alasannya Kabupaten lah sehingga harus
dibangun solusi seperti ini, saya katakan tidak. Melainkan, harus sinergi
antara Kota dengan Kabupaten,” desaknya.
Tandas Lutfi, anggaran untuk rumah hanyut dan rusak berat
akibat bencana banjir bandang di Kota Bima, hingga detik ini belum ada.
Pemicunya, Pemkot Bima ditudingnya tidak pernah menindaklanjutinya. “Saya
katakan secara jujur, untuk hal itu belum ada yang di follow up. Yang diajukan
selama ini, adalah dana DSP-sifatnya untuk menormalisasi drainase yang ada. Kan
yang diajukan itu, sifatnya masih melekat proyek. Sementara yang bentuknya
hibah-hibah untuk pekerjaan masyarakat, kan tidak ada yang diajukan oleh
Pemerintah Kota Bima,” bebernya.
Apakah proposal permohonan anggaran dari Pemkot Bima untuk
rumah hanyut, rusak berat hingga ke bantaran sungai sudah diajukan atau sebaliknya
kepada pemerintah pusat, Lutfi mengaku tidak tahu. “Tetapi sampai hari ini,
anggaran itu tidak turun mekanismenya, sedangkan sekarang mau masuk tahun
anggaran. Seharusnya ketika terjadi banjir, langsung diperjuangkan. Sehingga di
APBN ini bisa menyikapinya. Kan dana kita ini, kapan saja bisa dipakai. Jadi,
tidak ada alasan bahwa di pusat itu tidak ada anggaran,” paparnya.
Anggaran bencana urainya, ada pada rekening 99. Dana tersebut, dinamai on call. Dana on call
ini, bisa dipakai kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Terkait dana on call ini,
pihaknya telah mengalokasikannya sebesar Rp4 triliun. Tentang terjadinya bencana yang bersamaan di
beberapa daerah di Indonesia saat itu sebagai hambatan bagi pemerintah pusat sehingga
tidak bisa memenuhi semua anggaran bagi penanganan pasca bencana di Kota Bima,
Lutfi menyatakan, itu tergantung bagaimana Pemkot Bima memfolow upnya. Pasalnya,
dana tersebut tetap stand by di pusat.
“Tahun 2017 ini dananya stand by, kalau disuruh tunggu
2018 ya kasihan rakyat Kota Bima. Sekali lagi, dana tersebut tetap stand by,
dia bukan tahun berjalan. Maksudnya, mengajukan tahun 2016 lalu turun 2017,
tidak seperti itu. Anggaran bencana ada yang dicadangkan, namanya dana on call
di rekening 99. Sementara persoalan yang
terjadi di Kota Bima terkait penanganan pasca bencana, itu lebih karena
ketidakpahaman dan tidak pro aktifnya pemerintah. Mereka hanya mengerti alokasi
anggaran yang bersifat proyek seperti dana DSP, padahal yang lainnya itu bisa
semua,” ulasnya.
Kecuali anggaran yang sifatnya rehab rekon, diajukan
tahun 2017 akan dijawab tahun 2018 dan sifatnya ditender. Tetapi tidak demikian
dengan dana on call, itu langsung bisa digunakan. Selain itu, Lutfi juga
mengungkapkan adanya hal-hal yang belum dilakukan oleh Pemkot Bima pasca
terjadinya bencana banjir bandang dimaksud. Yakni program mitigasi (pencegahan
bencana), dan ia mengaku tidak pernah melihat adanya program tersebut.
“Makanya ketika bertemu dengan pemerintah daerah (sekitar
Januari 2017), saya katakan segera buat Perda. Saat itu, kita undang Pemkot Bima,
Pemkab Bima bersama DPR-RI di Pemprov NTB. Pada moment itu pula, saya meminta
kepada Pemkot maupun Pemkab Bima untuk membuat Perda tentang elevasi-tanaman
boleh dengan kemiringan sekian yang boleh ditanami. Ironisnya, itu tidak
ditindaklanjuti oleh Pemkot Bima maupun Pemkab Bima. Padahal, itu sangat
penting” keluhnya.
Kedua lanjutnya, harusnya setelah program mitigasi awal
(tahap I) dilaksanakan, maka akan ada hal yang dilakukan untuk mitigasi
selanjutnya (mitigasi tahap II). Yakni menanam tumbuh-tumbuhan yang bisa
menyanggah, sehingga lumpur-lumpur apapun ketika terjadi banjir tidak terbawa
semua. “Namun kenyataannya, tidak ada solusi itu yang diteroboskan oleh Pemkot
Bima maupun Pemkab Bima,” timpalnya.
“Solusi-solusi normalisasi sungai di wilayah Kabupaten Bima
atau di Kota Bima seperti Padolo dan lainnya, memang itu menjadi ranahnya
pemerintah pusat. Tetapi, terbososan apa yang telah dilakukan oleh Pemerinta
Kota dan Kabupaten untuk agar terjadi bencana banjir lagi. Misalnya menyiapkan
mesin pompa dikantong-kantong yang rawan banjir, seperti di Dara dan Tanjung. Tujuannya, agar yang terjepit menjadi cepat
keluar. Itulah model kesiapan cara menyelesaikan bencana, namun jika tidak bisa
beranalisa justeru berbahaya,” sambung Lutfi.
Kendati banyaknya kekurangan yang dialami oleh Kota Bima
terkait penanganan pasca bencana banjir bandang, namun Lutfi menegaskan, siapapun
tidak diperbolehkan untuk membawa isu apalagi menuding bahwa daerah ini akan
kembali dirundung bencana.
“Tetapi, tugas kita adalah melakukan pencegahan. Memang,
persoalan bencana ini tidaklah gampang. Kita tahu bahwa masyarakat kita
terselamatkan, ya karena Allah masih sayang terhadap kita. Kejadian waktu itu
di siang hari, dan anak-anak masih libur sekolah. Jika bencana saat itu terjadi
pada malam hari, lantas apa jadinya. Banjir di Bima ini tidak normal, melainkan
cukup luar biasa. Jika peristiwa tersebut terjadi pada malam hari dan memakan
korban jiwa, itu terkategori bencana nasional,” katanya lagi.
Singkatnya, penanganan bencana harus dilakukan secara terintegrasi-sistemik.
Sebaliknya atau dilakukan secara parsial, itu justeru akan menimbulkan
kesalahan. Di DPR-RI saja tandasnya, melakukan study banding ke beberapa negara
yang jugamelibatkan pihak BNPB. Hal tersebut, bertujuan untuk mempelajari
tentang cara penanganan bencana seperti tsunami, gempa bumi dan bencana banjir.
Tulis Komentar Anda