MANUFER Tak Berujung
Alam (Mantan Aktivis HMI) |
Oleh: Alam (Mantan Aktivis HMI)
Upaya kubu Hj.
Ferra untuk meyakinkan petahan agar meminang Hj. Ferra sebagai wakil terbentur
tembok besar. Tembok besar itu bernama kesepakatan koalisi dan mekanisme partai
partai yang berkoalisi untuk mengusung petahana.
Dalam hal ini parpol yang digadang gadang pasti mengusung H.
Arrahman adalah Demokrat dan PDIP. Sikap dan keputusan Hj. Ferra yang mengabaikan
proses penjarigan calon walikota dan calon walikota partai PDIP hingga akhirnya
PDIP hanya mengirim satu paket nama calon walikota dan wakil walikota untuk
mengikuti fit dan propertes di DPP PDIP yaitu H. Arrahman dan HM. Irfan yang
telah dilaksanakan pada minggu lalu, menjadi tembok pertama yang menghalangi
mimpi Hj. Ferra untuk menjadi pendamping petahana.
Surat tugas yang diberikan oleh DPP Demokrat kepada H. Arrahman
untuk mencari partai koalisi dan calon wakil menjadi tembok kedua yang juga
menghalangi Hj. Ferra. Karena sangat jelas bahwa ketika partai koalisi yang
dibawa oleh petahana itu PDIP maka secara politik Demokrat mau tidak mau
menerima HM. Irfan sebagai calon wakil yang telah mengikuti proses dan tahapan
di tubuh PDIP, tentu saja ini adalah titik komplomi yang sangat logis untuk
koalisi Demokrat PDIP.
Ketika menyatakan diri mau menjadi calon wakil walikota hingga
melakukan pendaftaran penjaringan calon wakil walikota di tubuh Demokrat, Hj.
Ferra baru saja tidak mendapat dukungan dari partai Golkar terlebih tidak lagi
mendapatkan kepercayaan partai Golkar untuk menjadi Ketua DPD II partai Golkar.
Artinya jika Golkar yang menjadi partainya saja tidak memberikan dukungan
kepada dirinya atau untuk meyakinkan partainya sendiri saja gagal, rasanya akan
jauh lebih susah dan sulit untuk bisa meyakinkan PDIP dan Demokrat untuk menerima
dirinya menjadi pendamping H. Arrahman.
Ini menjadi tembok ketiga yang sulit ditembus oleh Hj. Ferra.
Kegagalan demi kegagalan Hj. Ferra dalam berbagai moment politik mulai dari
kekalahan pada pilkada kota 2013, berlanjut dengan kekalahan pada pileg 2014,
berlanjut kegagalan mempertahankan perolehan suara Golkar dibawah
kepemimpinannya, lalu kegagalan mendapatkan dukungan dari partai Golkar untuk
mendukung dirinya baik sebagai calon walikota maupun sebagai calon wakil
walikota hingga sampai tidak lagi mendapatkan mandat untuk memimpin DPD II
partai Golkar Kota Bima. Rentetan kegagalan beruntun ini kemudian menjadi
tembok kesekian yang semakin membuat tembok penghalang keinginan Hj. Ferra
untuk menjadi calon wakil walikota.
Tentunya partai koalisi maupun petahana tentu saja selalu mencari
sosok pendamping yang memiliki track record teruji dan selalu menang dalam
percaturan politik. Ibarat seorang petaruh kuda pacu, pastinya akan selalu
memilih kuda yang selalu memiliki record selalu menang atau sering menang dalam
berbagai turnament bukan memilih kuda yang memiliki reputasi selalu kalah.
Bahkan tembok penghalang itu semakin dipertebal oleh sejarah dimana Hj. Ferra
merupakan lawan dari Demokrat dan PDIP pada pilkada 2013 dimana kedua parpol
tersebut mengusung HM. Qurais-Arrahman.
Perlawanan tersebut tidak hanya pada pilkada tetapi bahkan setelah
pasangan Qurma Manis ditetapkan sebagai pemenang oleh KPUD pun perlawanan masih
dilakukan oleh Hj. Ferra degan melakukan gugatan untuk membatalkan kemenangan
Qurma Manis di Mahkamah Konstitusi, meski MK menolak seluruhnya gugatan
pertawanan yang dilakukan oleh Hj. Ferra.
Rupanya perlawanan itu masih berlanjut pada pilkada sekarang yang ditunjukan
dengan sikap Hj. Ferra yang mencoba menjadi penantang H. Arrahman dengan
menyatakan sikap maju sebagai calon walikota. Meski sedemikian keras upaya Hj.
Ferra untuk mencoba menantang dan melawan kembali H. Arrahman pada pilkada 2018
tetap saja perlawan itu menemui jalan buntu karena Hj. Ferra kembali gagal
mendapatkan kepercayaan dari parpol untuk mau mengusung dirinya menjadi seorang
calon walikota.
Rentetan fakta dan catatan sejarah perjalanan politik Hj. Ferra sebagaimana
yang diuraikan diatas, terlanjur menjadi tembok yang sangat tebal penghalang
keinginan Hj. Ferra. Meski untuk bisa menjebol dan melalui tembok tebal
tersebut, Hj. Ferra harus menundukan kepala serta melakukan tindakan yang
cenderung kontra produktif dengan cara menurunkan tensi keinginannya yaitu
menerima dan siap menjadi calon wakil dari petahana.
Rasanya kesadaran yang datang terlambat ini tidak akan mampu
menembus tembok tebal yang telah membentang kokoh antara Hj. Ferra dengan
Demokrat, PDIP dan petahana. Terlebih fakta ilmiah membuktikan bahwa tidak
hanya persoalan bahwa Hj. Ferra yang tak lagi memiliki atau tidak mampu membawa
parpol pendukungnya kepada petahana tetapi juga hasil survei Carta Politica
menyimpulkan bahwa ketika petahana dipasangkan dengan Hj. Ferra hanya mampu
meraih angka 34%, lebih rendah dari perolehan angka survei ketika H.Arrahman
dipasangkan dengan HM. Irfan yang mampu meraih angka 36%.
Kenyataan inilah yang menjadikan MANUFER sebagai
idiom dari Man Ferra itu hanyalah satu manufer yang jauh panggang dari api atau
hanya menjadi MANUFER yang tak berujung pada kepastian dan kejelasan.
Tulis Komentar Anda